Raja Bone Ke-1 Manurungnge Ri Matajang
Posted by AndiEwha
Dalam lontara’ tersebut diketahui bahwa setelah habisnya turunan
Puatta Menre’E ri Galigo, keadaan negeri-negeri diwarnai dengan kekacauan. Hal
ini disebabkan karena tidak adanya arung (raja) sebagai pemimpin yang mengatur
tatanan kehidupan bermasyarakat. Terjadilah perang kelompok-kelompok anang
(perkauman) yang berkepanjangan (Bugis = Sianre Bale).
Kelompok-kelompok masyarakat (Kalula) saling bermusuhan dan
berebut kekuasaan. Kelompok yang kuat menguasai kelompok yang lemah dan
memperlakukan sesuai kehendaknya. Keadaan yang demikian itu, dalam Bahasa Bugis
disebut SIANRE BALE (saling meemangsa bagaikan ikan). Tidak ada lagi adat
istiadat, apalagi norma-norma hukum yang dapat melindungi yang lemah. Kehidupan
manusia saat itu tak ubahnya binatang di hutan belantara, saling memangsa satu
sama lain. Keadaan yang demikian itu berlangsung kurang lebih berpuluh-puluh
pariyama lamanya. Menurut hitungan lama, satu pariyama sama dengan 10 tahun.
Dari sekian lama itu Bone dan negeri-negeri sekitarnya mengalami
kekacauan yang sangat luar biasa. (“ Dan Allah Yang Maha Mengetahui “)
Adapun awal datangnya seorang arung (raja) di Bone yang dikenal
dengan nama ManurungE ri Matajang Mata SilompoE, ditandai dengan gejala alam
yang menakutkan dan mengerikan. Terjadi gempa bumi yang sangat dahsyat, kilat
dan guntur sambar menyambar, hujan dan angin puting beliung yang sangat keras.
Setelah keadaan itu reda dan sangat tak terduga, tiba-tiba di
tengah lapangan yang luas kelihatan ada orang berdiri dengan pakaian serba
putih. Karena tidak diketahui dari mana asal usulnya, maka orang menyangkanya
To Manurung yaitu manusia yang turun dari langit. Orang banyak pun pada datang
untuk mengunjunginya.
Adapun kesepakatan orang yang menganggapnya sebagai To Manurung
adalah untuk mengangkatnya menjadi arung (raja) agar ada yang bisa memimpin
mereka. Orang banyak berkata ; ”Kami semua datang ke sini untuk meminta agar
engkau jangan lagi mallajang (menghilang). Tinggallah menetap di tanahmu agar
engkau kami angkat menjadi arung (raja). Kehendakmu adalah kehendak kami juga,
perintahmu kami turuti. Walaupun anak isteri kami engkau cela, kami pun
mencelanya, asalkan engkau mau tinggal”.
Orang yang disangka To Manurung menjawab ; ”Bagus sekali
maksudmu itu, namun perlu saya jelaskan bahwa saya tidak bisa engkau angkat
menjadi arung sebab sesungguhnya saya adalah hamba sama seperti engkau. Tetapi
kalau engkau benar-benar mau mengangkat arung, saya bisa tunjukkan orangnya.
Dialah arung yang saya ikuti”.
Orang banyak berkata ; ” Bagaimana caranya kami mengangkat
seorang arung yang kami belum melihatnya?”.
Orang yang disangka To Manurung menjawab ; ”Kalau benar engkau
mau mengangkat seorang arung , saya akan tunjukkan tempat – matajang (terang),
disanalah arung itu berada”.
Orang banyak berkata ; ”Kami benar-benar mau mengangkat seorang
arung, kami semua berharap agar engkau dapat menunjukkan jalan menuju ke
tempatnya”.
Orang yang disangka To Manurung (konon bernama Pua’ Cilaong dari
Bukaka), mengantar orang banyak tersebut menuju kesuatu tempat yang terang
dinamakan Matajang (berada dalam kota Watampone sekarang).
Gejala alam yang mengerikan tadi kembali terjadi. Guntur dan
kilat sambar menyambar, angin puting beliung dan hujan deras disusul dengan
gempa bumi yang sangat dahsyat. Setelah keadaan reda, nampaklah To Manurung
yang sesungguhnya duduk di atas sebuah batu besar dengan pakaian serba kuning.
To Manurung tersebut ditemani tiga orang yaitu ; satu orang yang memayungi
payung kuning, satu orang yang menjaganya dan satu orang lagi yang membawa
salenrang.
To Manurung berkata ; ”Engkau datang Matowa?”
MatowaE menjawab ; ”Iyo, Puang”.
Barulah orang banyak tahu bahwa yang disangkanya To Manurung itu
adalah seorang Matowa. Matowa itu mengantar orang banyak mendekati To Manurung
yang berpakaian serba kuning.
Berkatalah orang banyak kepada To Manurung ; ”Kami semua datang
ke sini untuk memohon agar engkau menetap. Janganlah lagi engkau mallajang
(menghilang). Duduklah dengan tenang agar kami mengangkatmu menjadi arung. Kehendakmu
kami ikuti, perintahmu kami laksanakan. Walaupun anak isteri kami engkau cela,
kami pun mencelanya. Asalkan engkau berkenan memimpin kami”.
To Manurung menjawab ; ”Apakah engkau tidak membagi hati dan
tidak berbohong?”
Setelah terjadi kontrak sosial antara To Manurung dengan orang
banyak, dipindahkanlah To Manurung ke Bone untuk dibuatkan salassa (rumah). To
Manurung tersebut tidak diketahui namanya sehingga orang banyak menyebutnya
ManurungE ri Matajang. Kalau datang di suatu tempat dan melihat banyak orang
berkumpul dia langsung mengetahui jumlahnya, sehingga digelar Mata SilompoE.
ManurungE ri Matajang inilah yang menjadi Mangkau’ (raja)
pertama di Bone. ManurungE ri Matajang kemudian kawin dengan ManurungE ri Toro
yang bernama We Tenri Wale. Dari perkawinan itu lahirlah La Ummasa dan We
Pattanra Wanuwa, lima bersaudara.
Adapun yang dilakukan oleh ManurungE ri Matajang setelah
diangkat menjadi Mangkau’ di Bone adalah – mappolo leteng (menetapkan hak-hak
kepemilikan orang banyak), meredakan pula segala bentuk kekerasan dan telah
lahir yang namanya bicara (adat). ManurungE ri Matajang pula yang membuat
bendera kerajaan yang bernama WoromporongE.
Setelah genap empat pariyama memimpin orang Bone, dikumpulkanlah
seluruh orang Bone dan menyampaikan ; ”Duduklah semua dan janganlah menolak
anakku La Ummasa untuk menggantikan kedudukanku. Dia pulalah nanti yang
melanjutkan perjanjian antara kita”.
Hanya beberapa saat setelah mengucapkan kalimat itu, kilat dan
guntur sambar menyambar. Tiba-tiba ManurungE ri Matajang dan ManurungE ri Toro
menghilang dari tempat duduknya. Salenrang dan payung kuning turut pula
menghilang membuat seluruh orang Bone pada heran. Oleh karena itu diangkatlah
anaknya yang bernama La Ummasa menggantikannya sebagai arung (Mangkau’) di Bone.
Sumber : bonekab.go.id