Raja Bone Ke-15 La Tenri Tata
Posted by AndiEwha
Setelah La
Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka meninggal dunia, maka digantikanlah oleh
kemanakannya yang bernama La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta
To RisompaE.
La Tenri Tatta To Unru
adalah anak dari We Tenri Sui Datu Mario Riwawo dengan suaminya yang bernama La
Pottobune Arung Tanatengnga Datu Lompulle. Ibu dari We Tenri Sui adalah We Baji
atau We Dangke LebaE ri Mario Riwawo dengan suaminya La Tenri Ruwa Arung
Palakka MatinroE ri Bantaeng. La Tenri Ruwalah yang mula-mula menerima agama
Islam dari KaraengE ri Gowa yang juga dianggap sebagai orang pertama menerima
agama Islam di Celebes Selatan. Karena pada waktu itu orang Bone menolak agama
Islam, maka Arumpone La Tenri Ruwa pergi ke Bantaeng dan disanalah ia meninggal
dunia sehingga dinamakan MatinroE ri Bantaeng.
Ketika La Tenri Tatta
To Unru baru berusia 11 tahun, Bone dibawah kepemimpinan La Tenri Ruwa, Bone
diserang dan dikalahkan oleh Gowa. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan
ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta beberapa anak bangsawan Bone
lainnya oleh KaraengE ri Gowa dalam peristiwa yang disebut Beta Pasempe (
Kekalahan di Pasempe ). Pasempe adalah sebuah kampung kecil yang dipilih oleh
Arumpone La Tenri Ruwa untuk melakukan perlawanan dan disitulah dia dikalahkan.
Semua tawanan Gowa termasuk orang tua La Tenri Tatta Arung Palakka dibawa ke
Gowa.
Sesampainya di Gowa,
tawanan-tawanan itu dibagi-bagi kepada Bate SalapangE ri Gowa. La Pottobune,
isterinya We Tenri Sui dan anaknya La Tenri Tatta To Unru diambil oleh KaraengE
ri Gowa. Ditempatkan di SalassaE (Istana) Gowa dan ditunjukkan sebidang tanah
untuk digarap dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Disitu pulalah membuat pondok
untuk ditempatinya.
Karena La Tenri Tatta
To Unru dianggap masih anak-anak, maka To Unru selalu diikutkan oleh KaraengE
ri Gowa apabila bepergian. La Tenri Tatta biasanya ditugasi untuk membawa
tombak atau sebagai –pakkalawing epu (pembawa perlengkapan) yang diperlukan
oleh KaraengE ri Gowa dalam perjalanan itu. Sejak itu La Tenri Tatta dikenal
banyak kalangan, termasuk para anggota Bate SalapangE ri Gowa. La Tenri Tatta
To Unru memiliki sifat-sifat yang baik, jujur dan cerdas. Oleh karena itu La
Tenri Tatta To Unru diambil oleh Karaeng Patingalloang untuk diajari tentang adat-istiadat
Mangkasar (Gowa).
Setelah Karaeng
Patingalloang Tu Mabbicara Butta ri Gowa meninggal dunia, maka yang
menggantikannya adalah saudaranya yang bernama Karaeng Karunrung. Karaeng
Karunrung inilah yang terkenal sangat kejam terhadap orang-orang Bone yang
menjadi tawanan Gowa. Ini pulalah sebagai Tu Mabbicara Butta ri Gowa yang minta
kepada Tobala Jennang Bone untuk dikirimi sebanyak 10.000 orang Bone yang akan
dipekerjakan sebagai penggali parit dan pembuat benteng.
Jumlah tersebut tidak
bisa dikurangi, diganti atau dibayar. Walaupun seseorang yang telah ditunjuk
itu ada yang bisa menggantikannya atau mampu untuk membayarnya, namun oleh
Karaeng Karunrung tidak membenarkannya.
Ketika orang Bone yang
jumlahnya 10.000 itu tiba, langsung dipekerjakan sebagai penggali parit dan
pembuat benteng. Tiap-tiap 10 orang diawasi oleh seorang mandor dari orang Gowa
sendiri. Mereka dipekerjakan mulai pagi sampai malam dan hanya diberi
kesempatan istirahat pada waktu makan. Makanannya tidak ditanggung oleh Karaeng
Karunrung, tetapi harus dibawa sendiri dari Bone.
Adapun La Tenri Tatta
To Unru Daeng Serang, sudah kawin dengan seorang anak bangsawan Gowa yang
bernama I Mangkawani Daeng Talele. Pada saat orang Bone yang jumlahnya 10.000
itu bekerja, La Tenri Tatta To Unru menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai
penggali parit dan pembuat benteng. Ia juga merasakan bagaimana penderitaan
orang Bone disiksa oleh mandor-mandor orang Gowa yang mengawasi pekerjaan itu.
Suatu ketika, KaraengE
ri Gowa akan memperingati Ulang Tahunnya, maka diadakanlah perburuan rusa di
Tallo. Seluruh rakyat diharuskan mengikuti perburuan tersebut. La Tenri Tatta
Daeng Serang yang biasa membawakan tombak KaraengE, kebetulan tidak ikut. Oleh
karena itu orang tuanya La Pottobune’lah yang ditunjuk oleh KaraengE ri Gowa
untuk membawakan tombaknya.
Sesampainya KaraengE
ri Gowa pada lokasi perburuan rusa di Tallo, terpencarlah orang banyak baik
sebagai pemburu atau sebagai penunggang kuda untuk menelusuri hutan-hutan
mencari rusa. Kebetulan ada dua orang pekerja parit yang melarikan diri dan
bersembunyi dihutan, karena disangkanya dirinya yang dikepung. Kedua orang
tersebut ditangkap oleh pemburu dan dihadapkan kepada Karaeng Karunrung.
Keduanya disiksa, dipukuli sampai meninggal dunia.
La Pottobune’ orang
tua La Tenri Tatta sangat prihatin menyaksikan penyiksaan itu, sehingga tidak
dapat menahan perasaannya. Datu Lompulle tidak mampu menahan emosinya dan pada
saat itu juga ia mengamuk dengan menggunakan tombak Karaeng Karunrung yang
dibawanya. Setelah membunuh banyak orang Gowa, barulah ia ditangkap dan disiksa
seperti layaknya pekerja parit yang melarikan diri tadi. Karena La Pottobune’
memiliki ilmu kebal terhadap senjata tajam, maka nantilah dia meninggal dunia
setelah dimasukkan dalam lesung dan ditumbuk dengan alu.
Sejak kejadian itu, La
Tenri Tatta To Unru Daeng Serang tidak bisa lagi tidur. Setiap saat ia selalu
berdoa kepada Dewata SeuwaE agar diberi jalan yang lapang untuk kembali
menegakkan kebesaran Tanah Bone.
Suatu saat pagi-pagi
sekali La Tenri Tatta To Unru tiba di tempat penggalian. Lalu dipanggilnya
keluarga dekatnya, seperti ; Arung Belo, Arung Pattojo Arung Ampana dan
lain-lain. Semua keluarga dekatnya itu memang tidak pernah berpisah dengannya.
Dalam kesempatan itu, dibuatnya suatu kesepakatan untuk membebaskan seluruh
orang Bone dari penyiksaan orang Gowa di tempat penggalian tersebut.
Kesepakatan ini sangat dirahasiakannya, tidak seorangpun yang bisa
mengetahuinya termasuk kepada isteri mereka.
Pada waktu diadakan
perburuan rusa terakhir di Tallo, rencana pembebasan yang akan dilakukan oleh
La Tenri Tatta Daeng Serang, Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana juga
sudah cukup matang. Semua keluarganya sudah dipersiapkan dan barang-barang
bawaan sudah dikemas dengan rapi. Saat itulah La Tenri Tatta Arung Palakka
memerintahkan kepada seluruh pekerja parit dan pembuat benteng untuk melarikan
diri meninggalkan tempat itu. Sebelumnya seluruh mandor dari orang Gowa dibunuh
dan dirampas senjata dan perlengkapan lainnya.
Sesampainya di Bone La
Tenri Tatta To Unru langsung menemui Jennang Tobala dan Datu Soppeng yang
bernama La Tenri Bali yang tidak lain adalah pamannya sendiri. Datu Soppeng La
Tenri Bali dengan Jennang Tobala memang telah membuat suatu kesepakatan untuk
membangkitkan kembali semangat orang Bone melawan Gowa. Kesepakatan antara
Jennang Tobala dengan Datu Soppeng inilah yang kemudian dikenal dengan nama
Pincara LopiE ri Attapang
Kepada pamannya Datu
Soppeng, La Tenri Tatta To Unru minta bekal untuk dipakai dalam perjalanan,
karena dia akan pergi jauh mencari teman yang bisa diajak kerja sama melawan
Gowa. Sebab menurut perkiraannya perjalanan ini akan memakan waktu yang lama
dan akan menelan banyak pengorbanan.
Tidak berapa lama,
datanglah orang Gowa dengan jumlah yang sangat besar lengkap dengan
persenjataan perangnya mencari jejaknya. Terjadilah pertempuran yang sangat
dahsyat antara La Tenri Tatta To Unru bersama pasukannya melawan orang Gowa di
Lamuru. Tetapi karena kekuatan Gowa ternyata lebih kuat, akhirnya La Tenri
Tatta To Unu bersama pasukannya mundur kearah utara. Sementara orang Gowa yang
merasa kehilangan jejak, melanjutkan perjalanan ke Bone. Di Bone orang Gowa
betempur lagi melawan Tobala dengan pasukannya yang berakhir dengan tewasnya
Jennang Tobala Petta PakkanynyarangE.
Setelah Tobala Petta
PakkanynyarangE tewas dalam pertempuran, orang Gowa terus ke Soppeng untuk
menangkap Datu Soppeng La Tenri Bali dan selanjutnya dibawa ke Gowa ( Mangkasar
). Sedangkan pencaharian terhadap La Tenri Tatta Arung Palakka tetap dilanjutkan.
Tewasnya Tobala Arung
Tanete Petta PakkanynyarangE, oleh KaraengE ri Gowa yang bernama I Mallombasi
Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin merasa perlu untuk
mengangkat Jennang yang baru di Bone. Ditunjuklah La Sekati Arung Amali sebagai
pengganti Tobala, sementara Datu Soppeng La Tenri Bali ditawan di Gowa dan
ditempatkan di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng.
Karena merasa selalu
diburu oleh orang Mangkasar ( Gowa ), La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh
pengikutnya semakin terjepit dan sulit untuk tinggal di Tanah Ugi. Oleh karena
itu bersama Arung Belo, Arung Pattojo dan Arung Ampana sepakat untuk
menyeberang ke Butung Tanah Uliyo. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan siapa
tahu nanti di Butung Tanah Uliyo bisa mendapatkan teman yang dapat diajak
bekerja sama melawan Gowa. Dipersiapkanlah sejumlah perahu dan pada saat yang
tepat La Tenri Tatta To Unru bersama seluruh pengikutnya bertolak dari pantai
Cempalagi Ujung Pallette menuju ke Butung Tanah Uliyo.
Beberapa saat saja
setelah meninggalkan Cempalagi Ujung Pallette, orang Gowapun datang mencari
jejaknya. Tetapi La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya telah berada
ditengah laut menuju ke Butung Tanah Uliyo. Dengan demikian orang Gowa segera
kembali untuk menyampaikan kepada KaraengE ri Gowa bahwa La Tenri Tatta To Unru
bersama seluruh pengikutnya tidak berada lagi di daratan Tanah Ugi. Besar
kemungkinannya ia menyeberang ke Butung Tanah Uliyo untuk minta perlindungan
kepada Raja Butung.
Mendengar laporan itu,
KaraengE ri Gowa memerintahkan Arung Gattareng untuk menyusulnya. Arung
Gattareng berhasil bertemu La Tenri Tatta To Unru di tengah laut. Setelah
berbicara sejenak, Arung Gattareng lalu membelokkan perahunya dan kembali ke
Gowa . Sementara La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya tetap
melanjutkan perjalanan menuju ke Butung.
Sesampainya di Tanah
Uliyo, La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka diterima baik oleh Raja Butung dan
diberinya tempat untuk istirahat dengan pengikutnya. Kepada La Tenri Tatta To
Unru, Raja Butung berkata ; ”Tinggallah sementara disini, nanti kalau kapal
Kompeni Belanda yang akan menuju ke Ambon dan Ternate singgah disini, barulah
saya pertemukan denganmu. Sebab sesungguhnya saya sangat menghawatirkan kalau
nantinya orang Gowa yang disuruh oleh KaraengE ri Gowa bisa menemukan tempatmu
disini. KaraengE ri Gowa memang sangat marah kepada saya, karena kapal-kapal
Kompeni Belanda selalu singgah disini apabila akan berangkat menuju ke Ambon
dan Ternate”.
Pada saat La Tenri
Tatta To Unru akan bertolak ke Butung, ia singgah bernazar di gunung Cempalagi
dekat Pallette. Dalam nazarnya tersebut, La Tenri Tatta To Unru bertekad tidak
akan memotong rambutnya sebelum dirinya bersama seluruh pengikutnya kembali
dengan selamat di Tanah Ugi. Sejak itu rambutnya dibiarkan menjadi panjang dan
digelarlah MalampeE Gemme’na.
KaraengE ri Gowa sudah
mengetahui bahwa La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama pengikutnya telah
berada di Butung Tanah Uliyo. Oleh karena itu disiapkanlah pasukan dengan
jumlah besar yang diperlengkapi dengan senjata perang untuk menyerang Butung
Tanah Uliyo. Apalagi maksud untuk menyerang Butung memang telah lama
direncanakan, karena Butung selalu menjadi tempat persinggahan kapal-kapal
Kompeni Belanda kalau akan berangkat ke Ambon dan Ternate.
Tidak lama kemudian
utusan KaraengE ri Gowa datang ke Butung untuk mencari La Tenri Tatta bersama
pengikutnya. Tetapi sebelum utusan itu naik kedarat, Raja Butung menyampaikan
kepada La Tenri Tatta To Unru bersama pengikutnya untuk bersembunyi disebuah
sumur besar dan tidak berair tidak jauh dari istana Raja Butung. Kepada La
Tenri Tatta To Unru, Raja Butung berkata ;” Saya akan bersumpah nanti kalau
utusan KaraengE ri Gowa naik untuk menanyakan keberadaanmu, bahwa kamu dengan
seluruh pengikutmu tidak berada diatas Tanah Uliyo”.
Karena pernyataan Raja
Butung bahwa La Tenri Tatta bersama seluruh pengikutnya tidak berada diatas
Tanah Uliyo dan utusan KaraengE ri Gowa memang tidak melihat adanya tanda bahwa
orang yang dicarinya ada di tempat itu, maka utusan itupun pamit dan kembali ke
Gowa.
KaraengE ri Gowa
rupanya tidak kehabisan akal, maka disusunlah strategi baru dengan memperbanyak
pasukan dan diperlengkapi dengan persenjatan untuk menyerang Butung sampai ke
Ternate. Dipanggilah Datu Luwu La Setiaraja bersama Karaeng Bonto Marannu untuk
memimpin pasukan ke Tanah Uliyo. Menurut rencananya setelah Butung kalah,
serangan akan dilanjutkan ke Ternate untuk menangkap Raja Ternate.
Berita tentang rencana
KaraengE ri Gowa yang akan menyerang Butung dan Ternate telah sampai kepada
Kompeni Belanda di Jakarta. Oleh karena itu Kompeni Belanda mempersiapkan
sejumlah kapal dan perlengkapan perang untuk melawan Gowa. Kepada La Tenri
Tatta To Unru yang sementara berada di Butung dipesankan untuk memperlengkapi
pasukannya dengan persenjataan. Begitu pula kepada Raja Butung agar
bersiap-siap menunggu kedatangan Kompeni Belanda.
Atas perintah KaraengE
ri Gowa, Datu Luwu bersama Karaeng Bonto Marannu berlayar ke Butung membawa
pasukan untuk menyerang Butung dan selanjutnya Ternate. Sementara itu, berita
tentang keberangkatan pasukan Kompeni Belanda bersama La Tenri Tatta ke Butung
telah sampai pula pada KaraengE ri Gowa. Oleh karena itu, KaraengE ri Gowa
segera mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng ke Bone dan Datu Soppeng yang
bernama La Tenri Bali dikembalikan ke Soppeng. Didudukkanlah Bone sebagai
Palili (daerah bawahan) dari Gowa yang berarti Bone telah lepas dari penjajahan
Gowa.
Adapun maksud KaraengE
ri Gowa mengembalikan Arumpone La Maddaremmeng untuk menduduki kembali Mangkau’
Bone, agar orang Bone tidak lagi melihat Gowa sebagai lawan yang sedang
bermusuhan dengan Kompeni Belanda. Sementara La Tenri Bali Datu Soppeng yang
tadinya ditempatkan di Sanrangeng bersama Arumpone La Maddaremmeng sebagai
tawanan, dikembalikan pula ke Soppeng. Selanjutnya Soppeng didudukkan pula
sebagai Palili dari Gowa sebagaimana halnya Bone. Sejak itu Soppeng bukan lagi
sebagai jajahan Gowa melainkan sebagai daerah bawahan saja.
Kapal-kapal Kompeni
Belanda yang memuat pasukan tempur yang dipimpin oleh Cornelis Speelman tiba di
Butung. Diatas kapal ada La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka bersama dengan
seluruh pengikutnya. Sesampainya di Butung, La Tenri Tatta To Unru Arungt
Palakka MalampeE Gemme’na memperoleh informasi bahwa yang memimpin pasukan Gowa
adalah Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu. Oleh karena itu La
Tenri Tatta berkata kepada Cornelis Speelman agar jangan melepaskan tembakan.
La Tenri Tatta memberi penjelasan kepada Cornelis Speelman bahwa Bone dengan
Luwu sama-sama jajahan Gowa dan tidak pernah bermusuhan. Begitu pula Karaeng
Bonto Marannu tidak pernah terjadi perselisihan faham dengannya. Keduanya hanya
disuruh oleh KaraengE ri Gowa unuk menyerang orang Bone.
Selanjuitnya La Tenri
Tatta mengajak kepada Cornelis Speelman untuk mengirim utusan kedarat guna
menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu.Siapa tahu ada jalan yang bisa
ditempuh dan tidak saling bermusuhan sesama saudara. Ajakan itu disetujui oleh
Speelman dan diutuslah beberapa orang naik menemui Datu Luwu dan Karaeng Bonto
Marannu. Sesampainya ditempat Datu Luwu dan Karaeng Bonto Marannu, utusan itu
menyampaikan bahwa Arung Palakka bersama Cornelis Speelman mengharapkan Datu
Luwu bersama Karang Bonto Marannu turun ke kapal dengan mengibarkan bendera
putih untuk berbicara secara baik-baik.
Mendengar apa yang
disampaikan oleh utusan itu, Datu Luwu La Setiaraja dan Karaeng Bonto Marannu
sependapat bahwa lebih banyak buruknya dari pada baiknya jika kita saling
bermusuhan sesama saudara. Kalau kita berdamai, hanyalah senjata kita yang
diambil. Tetapi kalau kita bertahan untuk berperang, maka senjata beserta
seluruh pasukan kita ikut diambil.
Setelah saling
bertukar pendapat antara Datu Luwu dengan Karaeng Bonto Marannu yang mendapat
persetujuan dari seluruh pasukannya, maka turunlah ke kapal Kompeni Belanda
menemui La Tenri Tatta Arung Palakka dan Cornelis Speelman sebagai pimpinan
pasukan Kompeni Belanda. Dari atas kapal nampak Arung Belo, Arung Pattojo,
Arung Ampana serta Arung Bila menjemput kedatangan Datu Luwu dan Karaeng Bonto
Marannu beserta beberapa pengikutnya.
Datu Luwu La Setiaraja
dan Karaeng Bonto Marannu menyatakan bergabung dengan Arung Palakka, makanya
keduanya minta perlindungan Kompeni Belanda. Untuk mengamankan keduanya dari
KaraengE ri Gowa, dibawa ke sebuah pulau oleh Cornelis Speelman. Nanti setelah
perang selesai, barulah kembali ke negerinya. Sedangkan pasukannya dinaikkan ke
kapal untuk dibawa pulang ke kampungnya setelah dilucuti seluruh senjatanya.
Sementara itu, berita
tentang dikembalikannya La Maddaremmeng ke Bone dan La Tenri Bali ke Soppeng
oleh KaraengE ri Gowa dimana Bone dan Soppeng didudukkan sebagai Palili (daerah
bawahan), telah sampai kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Lalu Arung Palakka
mengirim utusan ke Bone dan Soppeng agar Arumpone dan Datu Soppeng tetap
mengangkat senjata untuk melawan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin.
La Tenri Tatta Arung
Palakka bersama Cornelis Speelman dengan persenjatan yang lengkap meninggalkan
Butung menyusuri daerah-daerah pesisir yang termasuk kekuasan KaraengE ri Gowa.
Banyak daerah pesisir yang tadinya berpihak kepada Gowa, berbalik dan
menyatakan berpihak kepada La Tenri Tatta Arung Palakka. Sementara melalui
darat, Arung Bila, Arung pattojo, Arung Belo dan Arung Ampana terus
membangkitkan semangat orang Bone dan orang Soppeng untuk berperang melawan
Gowa. Beberapa daerah di Tanah Pabbiring Barat berbalik pula melawan KaraengE
ri Gowa.
Dengan demikian
keadaan KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin sudah terkepung. Kompeni Belanda
dibawah komando Cornelis Speelman menghantam dari laut, sementara Arung Palakka
dengan seluruh pasukannya menghantam dari darat. Semua arung yang tadinya
membantu Gowa kembali berbalik menjadi lawan, kecuali Wajo tetap membantu Gowa.
Karena merasa sudah
sangat terdesak dan pertempuran telah banyak memakan korban dipihak Sultan
Hasanuddin, maka pada hari Jumat tanggal 21 November 1667 M. KaraengE ri Gowa I
Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin bersedia
mengakhiri perang. Kesediaannya itu ditandai dengan suatu perjanjian yang
bernama Perjanjian Bungaya. Perjanjian mana ditanda tangani oleh Sultan
Hasanuddin dengan Cornelis Speelman Admiral Kompeni Belanda. Sementara
perjanjian Sultan Hasanuddin dengan Arung Palakka adalah melepaskan Bone dan
Soppeng sebagai jajahan Gowa.
Setelah perang
berakhir, barulah La Tenri Tatta Arung Palakka bersama pengikutnya masuk ke
Bone. Sesampainya di Bone, dijemput oleh Arumpone La Maddaremmeng. Keduanya
saling mengucapkan selamat atas kemenangannya melawan Gowa. Berkatalah La
Maddaremmeng kepada kemenakannya La Tenri Tatta ; ”Saya sekarang sudah tua dan
semakin lemah, walaupun saya telah dikembalikan oleh KaraengE ri Gowa untuk
menduduki Mangkau’ di Bone, namun hanyalah sebagai simbol. Sebab Bone hanya
ditempatkan sebagai daerah palili yang berarti harus tetap mengabdi kepada
Gowa. Oleh karena itu saya berpendapat sebaiknya engkaulah yang memangku
Mangkau’ di Bone. Sebab memang warisanmu dari MatinroE ri Bantaeng. Hanya
karena orang Bone pada mulanya tidak mau menerima Islam, sehingga ia
meninggalkan Bone”.
La Tenri Tatta Arung
Palakka menjawab ; ”Saya menjunjung tinggi keinginan Puatta, tetapi saya tetap
berpendapat bahwa nantilah api itu padam baru dicarikan penggantinya, artinya nantilah
Arumpone benar-benar sudah tidak ada baru diganti”.
Oleh karena itu La
Maddaremmeng tetap memangku Mangkau’ di Bone sampai ia meninggal dunia. Akan
tetapi hanyalah simbol belaka, sebab yang melaksanakan pemerintahan adalah
kemenakannya yang bernama La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka.
Bagi Kompeni Belanda
hubungannya dengan arung-arung di Tanah Ugi harus melalui La Tenri Tatta Arung
Palakka. Cornelis Speelman meminta kepada Gubernur Jenderal di Betawe agar
Arung Palakka diangkat menjadi Arumpone. Selain itu ia juga diangkat menjadi
pimpinan bagi arung-arung di Tanah Ugi, karena itu digelarlah To RisompaE.
Dalam tahun 1672 M.
Arumpone La Maddaremmeng meninggal dunia, barulah Arung Palakka resmi menjadi
Arumpone. Diseranglah Wajo pada bulan Agustus 1670 M, karena Arung Matowa Wajo
yang bernama La Tenri Lai belum mau mengalah pada saat diadakannya Perjanjian
Bungaya. La Tenri Lai menyatakan kepada KaraengE ri Gowa Sultan Hasanuddin
bahwa perang antara KaraengE dengan Kompeni Belanda telah berakhir, tetapi
perang Wajo dengan Arung Palakka belum selesai.
Oleh karena itu Sultan
Hasanuddin menganjurkan kepada La Tenri Lai untuk kembali ke Wajo bersama
seribu pengikutnya. Sesampainya di Wajo, disusul kemudian oleh Arung Palakka
bersama seluruh pengikutnya dan berperanglah selama empat bulan. Korban
berguguran baik dari Bone, Soppeng maupun Wajo. Batal sudah Perjanjian
TellumpoccoE, akhirnya Wajo kalah. Tosora terbakar, bobol sudah pertahanan
Wajo.
Dalam peperangan yang
dahsyat ini, Arung Matowa Wajo La Tenri Lai To Sengngeng gugur terbakar, maka
digelarlah MatinroE ri Salokona. Dengan demikian datanglah utusan PillaE
PatolaE minta untuk diadakan gencatan senjata atau menghentikan perang kepada
Bone dan Soppeng.
Permintaan itu dijawab
oleh Arung Palakka bahwa hanya diberi kesempatan selama tiga hari untuk
mengurus jenazah Arung MatowaE ri Wajo. Setelah itu, sepakatlah orang Wajo
untuk mengangkat La Palili To Malu menggantikan La Tenri Lai To Sengngeng
sebagai Arung Matowa Wajo yang baru.
Arung Matowa Wajo
inilah yang menyatakan diri kalah dengan Bone dan Soppeng. Pada tanggal 23
Sepetember 1670 M. La Palili To Malu naik ke Ujungpandang untuk menanda tangani
perjanjian dalam Benteng Rotterdam. Arung Palakka MalampeE Gemme’na, ArungE ri
Bantaeng, Datu Soppeng, Arung Tanete serta beberapa petinggi lainnya yang
mengantar Arung Matowa Wajo La Palili To Malu masuk ke Benteng Rotterdam. Arung
Matowa Wajo brsama dengan PillaE yang bernama La Pakkitabaja, PatolaE yang
bernama La Pangabo, CakkuridiE yang bernama La Pedapi, inilh yang dinamakan
TelluE Bate Lompo ri Wajo.
Setelah selesai
berperang dengan Wajo tahun 1671 M. dikawinkanlah adik perempuannya yang
bernama We Mappolo BombangE yang juga diangkat menjadi Maddanreng di Palakka.
We Mappolo BombangE dikawinkan dengan La PakokoE Toangkone Arung Timurung yang
juga Arung Ugi anak dari La Maddaremmeng MatinroE ri Bukaka dengan isterinya
yang bernama We Hadijah I Dasaleng Arung Ugi.
Lima bulan setelah
perkawinan adik perempuannya We Mappolo BombangE Maddanreng Palakka, dalam
tahun 1671 M. Arung Palakka MalampeE Gemme’na mengadakan keramaian untuk
melepaskan nazarnya ketika hendak meninggalkan Tanah Ugi. Nazarnya itu, adalah
; Kalau nantinya saya selamat kembali ke Tanah Ugi menegakkan kembali kebesaran
Bone dan Soppeng, saya akan membuat sokko (nasi ketang) tujuh macam setinggi
gunung Cempalagi. Akan kusembelih seratus kerbau camara (belang) bertanduk
emas, sebagai tebusan anak bangsawan Gowa –maddara takku – (berdarah biru) dan
sebagai ganti kepala Karaeng Mangkasar (bangsawan tinggi) di Gowa.
Pada saat itulah La
Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada pengikutnya bahwa ia memanjangkan
rambutnya selama dalam perantauan dan nanti akan dipotong setelah kembali
menegakkan kebesaran Bone. Maka setelah melepaskan nazarnya di Cempalagi, iapun
memotong rambutnya, kemudian mangosong (bernyanyi) ; ” Muaseggi belobelo,
weluwa sampo genoaE mattipi nattowa wewe. Muaseggi culecule weluwa sampo
palippaling ri accinaongi awana”.
Ketika acara potong
rambutnya yang diikuti oleh seluruh pengikutnya selesai, La Tenri Tatta To Unru
melepaskan nazarnya dengan memotong 400 ekor kerbau dilereng gunung Cempalagi.
Seratus ekor kerbau camara (Bulu hitam dengan belang dibagian ekor dan kepala)
bertanduk emas (ditaruh emas pada tanduknya). Tiga ratus ekor sebagai pengganti
kepala bangsawan Gowa dan bangsawan Mangkasar.
Setelah itu,
diseranglah seluruh negeri yang belum menyatakan diri takluk kepada Bone.
Negeri-negeri itu antara lain ; Mandar, Palilina Tanah Luwu yang masih mengikut
kepada Gowa. Selanjutnya serangannya ditujukan kepada Pasuruan Jawa Timur,
Galingkang dan Sangalla. Kesemua negeri tersebut dikalahkan dan terakhir adalah
Letta.
Pada tanggal 3 – 11 –
1672 M. We Mappolo Bombang Maddanreng Palakka melahirkan anak laki-laki yang
bernama La Patau Matanna Tikka WalinonoE La Tenri Bali MalaE Sanrang. Anak ini
lahir dari perkawinannya denga La PakokoE Toangkone Arung Timurung.
Atas kelahiran La
Patau Matanna Tikka membuat La Tenri Tatta Arung Palakka Petta To RisompaE
sangat gembira. Karena menurut pikirannya, sudah ada putra mahkota yang bisa
melanjutkan akkarungeng di Tanah Bone. La Tenri Tatta Arung Palakka yang tidak
memiliki anak, menganggap bahwa anak dari adik perempuannya itulah yang menjadi
anak pattola (putra mahkota).
Setelah Arumpone La
Maddaremmeng meninggal dunia dalam tahun 1672 M. sepakatlah anggota Hadat Bone
yang didukung oleh seluruh orang Bone serta Pembesar Kompeni Belanda untuk
mengangkat La Tenri Tatta Arung Palakka menjadi Arumpone menggantikan pamannya.
Agar dapat memperoleh
keturumam La Tenri Tatta Arung Palakka kawin dengan We Yadda Datu Watu anak
dari La Tenri Bali Datu Soppeng MatinroE ri Datunna dengan isterinya yang
bernama We Bubungeng I Dasajo. Namun dari perkawinannya itu, tetap tidak
memperoleh keturunan.
Adapun saudara
perempuan La Tenri Tatta yang bernama We Kacimpureng yang kawin dengan To Dani
juga tidak memiliki keturunan. Saudara perempuaannya yang tua yang bernama We
Tenri Abang, dialah yang diberikan Mario Riwawo. Dia pula yang diikutkan
sewaktu La Tenri Tatta pergi ke Jakarta dimasa berperang dengan Gowa. We Tenri
Abang kawin dengan La Mappajanji atau biasa juga dinamakan La Sulo Daeng
Matasa. Dari perkawinannya itu lahir seorang anak perempuan yang bernama We
Pattekke Tana Daeng Risanga.
Melihat bahwa tidak
ada lagi musuh yang berarti, maka Arumpone La Tenri Tatta To Unru Arung Palakka
mengumpulkan seluruh Bocco (Akkarungeng Tetangga) di Baruga TelluE Coppo’na di
Cenrana. Diadakanlah suatu pesta untuk disaksikan oleh arung-arung yang pernah
ditaklukkannya, termasuk pembesar-pembesar Kompeni Belanda. Dalam kesempatan
itu, Arumpone La Tenri Tatta Arung Palakka menyampaikan kepada semua yang hadir
bahwa dirinya telah melepaskan nazar dan telah meletakkan samaja (sesaji) dan
juga telah memotong rambutnya. Seluruh yang hadir pada pesta tersebut
mendengarkan dengan baik tentang apa yang disampaikan oleh Petta To RisompaE.
“Dengarkanlah wahai
seluruh orang Bone dan juga seluruh daerah passeyajingeng Tanah Bone, termasuk
passeyajingeng keturunan MappajungE. Besok atau lusa datang panggilan Allah
kepadaku, hanyalah kemanakan saya yang dua bisa mewarisi milikku. Yang saya
tidak berikan adalah harta yang masih dimiliki oleh isteriku I Mangkawani Daeng
Talele. Sebab saya dengan isteriku I Mangkawani Daeng Talele tidak memiliki
keturunan.
Adapun kemanakanku
yang bernama La Patau Matanna Tikka, anak dari Maddanreng Palakka saya berikan
akkarungeng ri Bone. Sedangkan kemanakanku yang satu anak Datu Mario Riwawo,
saya wariskan harta bendaku, kecuali yang masih ada pada isteriku I Mangkawani
Daeng Talele”.
La Patau Matanna Tikka
berkata ; “Saya telah mendengarkan pesan pamanku Petta To RisompaE bahwa saya
diharapkan untuk menggantikannya kelak sebagai Mangkau’ di Bone. Namun saya
sampaikan kepada orang banyak bahwa sebelum saya menggantikan Puatta selaku
Arumpone, apakah merupakan kesepakatan orang banyak dan bersedia berjanji
denganku?”
Seluruh anggota Hadat
dan orang banyak berkata ; “Katakanlah untuk didengarkan oleh orang banyak”.
Berkata lagi La Patau
Matanna Tikka ; “Saya akan menerima kesepakatan orang banyak dari apa yang
dikatakan oleh Puatta To RisompaE, apabila orang banyak mengakui dan mengetahui
bahwa ;
– Tidak akan ada lagi
Mangkau’ di Bone kalau bukan keturunanku.
– Ketahui pula bahwa
keturunanku adalah anak cucu MappajungE tidak akan dipilih dan didudukkan oleh
keturunan LiliE. Begitulah yang saya sampaikan kepada orang banyak”.
Seluruh orang banyak
berkata ; ”Angikko Puang kiraukkaju Riyao miri riyakeng mutappalireng – muwawa
ri peri nyameng” (Baginda angin dan kami semua daun kayu – dimana Baginda
berhembus, disanalah kami terbawa – menempuh kesulitan dan kesenangan).
La Tenri Tatta To
RisompaE, adalah Datu Mario Riwawo, Arung di Palakka sebelum memangku Mangkau’
di Bone menggantikan MatinroE ri Bukaka.
Sesudah perjanjian
Bungaya 18 November 1667 M. dia menegakkan kembali kebesaran Bone, melepaskan
dari jajahan Gowa. Begitu pula Soppeng, Luwu dan Wajo, semuanya dilepaskan dari
jajahan Gowa. Datu Luwu MatinroE ri Tompo’tikka yang menguasai Tanah Toraja
sampai di pegunungan Latimojong yang ikut membantu Bone, diangkat sebagai
daerah passeyajingeng (daerah sahabat).
Oleh karena itu
Arumpone La Tenri Tatta digelar Petta To RisompaE atas dukungan Kompeni Belanda
yang memberinya kekuasaan sebagai Mangkau’ dari seluruh Mangkau’ di Tanah Ugi.
La Tenri Tatta To Unru lalu membuat payung emas dan payung perak di samping
Bendera SamparajaE. Oleh Kompeni Belanda diberinya selempang emas dan kalung
emas sebagai tanda kenang-kenangan Kompeni Belanda atas jasa baiknya menjalin
kerja sama.
Selaku Mangkau’ dari
seluruh Mangkau’ di Celebes Selatan, La Tenri Tatta Petta To RisompaE belum
merasa puas kalau TelluE Cappa’ Gala yaitu Kerajaan Besar Bone, Gowa dan Luwu
tidak bersatu. Oleh karena itu, ia mengawali dengan mengawinkan bakal
penggantinya sebagai Arumpone kelak yaitu La Patau Matanna Tikka WalinonoE
dengan anak PajungE ri Luwu La Setiaraja MatinroE ri Tompo’tikka dari isterinya
yang bernama We Diyo Opu Daeng Massiseng Petta I Takalara. Anak Datu Luwu
tersebut bernama We Ummung Datu Larompong.
We Ummung Datu
Larompong kemudian diangkat menjadi Maddanreng TellumpoccoE (Bone, Soppeng dan
Wajo) dan seluruh daerah sahabat Bone dalam tahun 1686 M. Untuk Wajo diangkat
dua orang berpakaian kebesaran, begitu pula Soppeng, Ajatappareng,
Massenrempulu, Mandar PituE Babanna Minanga tiga orang, Kaili, Butung, Tolitoli
masing-masing tiga orang. Sedangkan Ajangale’ dan Alau Ale’ masing-masing dua
orang.
Adapun perjanjian La
Tenri Tatta Petta To RisompaE dengan Datu Luwu La Setiaraja MatinroE ri
Tompo’tikka, adalah ; ”Apabila La Patau bersama We Ummung Datu Larompong
melahirkan anak, maka anaknya itulah yang akan menjadi Datu di Luwu”.
Selanjutnya La Patau
Matanna Tikka dikawinkan lagi di Tanah Mangkasar dengan perempuan yang bernama
We Mariama (Siti Maryam) Karaeng Patukangang. Anak dari La Mappadulung Daeng
Mattimung KaraengE ri Gowa yang juga dinamakan Sultan Abdul Jalil dengan
isterinya Karaeng Lakiung. Dalam acara perkawinannya itu, datang semua daerah
sahabat Bone menyaksikannya.
Adapun perjanjian
Petta To RisompaE dengan KaraengE ri Gowa, pada saat dikawinkannya La Patau
Matanna Tikka dengan We Mariama adalah ; ”Kalau nantinya La Patau dengan We
Mariama melahirkan anak laki-laki, maka anaknya itulah yang diangkat menjadi Karaeng
di Gowa”. Oleh karena itu maka hanyalah anak We Ummung dari Luwu dan anak We
Mariama dari Gowa yang bisa diangkat menjadi Mangkau’ di Bone. Sementara yang
lain, walaupun berasal dari keturunan bangsawan tinggi, tetapi dia hanya
ditempatkan sebagai cera’ biasa (tidak berhak menjadi Mangkau’). Kecuali kalau
anak We Ummung dan We Mariama yang menunjuknya.
Aturan yang berlaku di
TellumpoccoE dan TelluE Cappa’ Gala adalah – tenri pakkarung cera’E – tenri
attolang rajengE (cera’ tidak bisa menjadi Arung dan rajeng tidak bisa
menggantikan Arung). Kecuali semua putra mahkota telah habis dan tidak ada lagi
pilihan lain.
Ketika kemanakan Petta
To RisompaE yang bernama We Pattekke Tana Daeng Tanisanga Petta MajjappaE Datu
TelluE Salassana – digeso’ (tradisi orang Bugis menggosok gigi dengan batu pada
saat anak mulai dewasa), diundanglah seluruh Bocco dan seluruh Lili
Passeyajingeng Bone. Pada saat itulah Petta To RisompaE memberikan kepada
kemanakannya itu Pattiro dan harta benda yang pernah dipersaksikan kepada orang
banyak sesudah memotong rambutnya.
Selanjutnya We
Pattekke Tana diberikan oleh ibunya Mario Riwawo beserta isinya, dan ayahnya
memberikan Tanete beserta isinya.
Pada acara maggeso’nya
We Pattekke Tana, hadir semua Lili Passeyajingeng Bone, seperti ; TellumpoccoE,
LimaE Ajattappareng, PituE Babanna Minanga, LimaE Massenreng Pulu, TelluE
Batupapeng, Butung, Toirate, BukiE, Gowa, Cappa’galaE dan petinggi-petinggi
Kompeni Belanda.
Pada saat itu juga
datang utusan PajungE ri Luwu untuk melamarkan putranya yang bernama La Onro To
Palaguna kepada We Pattekke Tana. Petta To RisompaE mengatakan kepada utusan
Datu Luwu ; ”Saya bisa menerima lamaranmu wahai orang Ware, tetapi dengan
perjanjian We Tekke (Pattekke Tana) engkau angkat menjadi datu di Luwu. Walaupun
dia nantinya tidak memiliki anak dengan suaminya (La Onro To Palaguna), apalagi
kalau dia berdua melahirkan anak, maka harus mewarisi secara turun temurun
tahta sebagai Datu Luwu”.
Permintaan tersebut
diakui oleh orang Ware, berjanjilah Puatta MatinroE ri Bontoala dengan MatinroE
ri Tompo’tikka untuk mengangkat We Pattekke Tana sebagai Datu Luwu sampai
kepada anak cucunya. Kesepakatan ini disetujui oleh orang Ware yang disaksikan
oleh TellumpoccoE.
Dari perkawinan We
Pattekke Tana dengan La Onro To Palaguna lahirlah Batara Tungke Sitti Fatimah.
Kemudian Sitti Fatimah kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama La Rumpang
Megga To Sappaile Cenning ri Luwu. Anak dari We Yasiya Opu Pelai Lemolemo
dengan suaminya yang bernama La Ummareng Opu To Mallinrung.
We Fatimah melahirkan
tiga orang anak, yaitu ; We Tenri Leleang, inilah yang menjadi pewaris Datu
Luwu. Yang kedua La Tenri Oddang atau La Oddang Riwu Daeng Mattinring, dialah
yang menjadi pewaris Arung Tanete. Sedangkan yang ketiga La Tenri Angke Datu
WaliE, dialah Datu Mario Riwawo.
Merasa usianya semakin
renta, La Tenri Tatta To Unru Petta To RisompaE MalampeE Gemme’na memilih untuk
menetap di Tanah Mangkasar. Tahun 1696 M. ia meninggal dunia di rumahnya di
Bontoala, maka dinamakanlah MatinroE ri Bontoala. La Tenri Tatta Arung Palakka
yang juga bernama Sultan Saaduddin dikuburkan di Bonto Biraeng berdampingan
dengan makam Sultan Hasanuddin MatinroE ri Bontoala.