Raja Bone Ke-32 La Mappanyukki
Posted by AndiEwha
La Mappanyukki Datu Lolo ri Suppa
yang juga dikernal dengan nama Datu Silaja. Pada masa Perang Gowa tahun 1906 M,
ketika I Makkulawu Karaeng Lembang Parang KaraengE ri Gowa berperang dengan
Kompeni Belanda. Setahun setelah tertangkapnya La Pawawoi dan diasingkan ke
Bandung, Kompeni Belanda mengalihkan perangnya dari Bone ke Gowa. Padahal
antara La Pawawoi Karaeng Sigeri dengan SombaE ri Gowa adalah bersepupu satu
kali. Ketika itu La Mappanyukki menjadi Datu Lolo ri Suppa, dia bersaudara
dengan La Panguriseng Datu Alitta. Karena ayahnya adalah Karaeng ri Gowa,
sehingga Suppa dengan Alitta melibatkan diri pada Perang Gowa untuk membantu
ayahnya.
Adapun sebabnya Gowa diperangi oleh
Kompeni Belanda, karena Belanda menyangka kalau Dulung Awang Tangka Arung
Labuaja salah seorang Panglima Perang Bone pada masa pemerintahan La Pawawoi
Karaeng Sigeri bersembunyi di Gowa. Selain itu Belanda berkeyakinan apabila
kedua Bocco (Bone dan Gowa) telah ditaklukkan, maka daerah-daerah lain di Celebes
Selatan akan mudah ditaklukkan. Makanya ketika pusat pemerintahan Gowa berhasil
diduduki, SombaE ri Gowa mengungsi ke Ajattappareng bersama pengikutnya. Dia
menetap di Suppa dan Alitta karena tempat itu merupakan akkarungeng kedua
anaknya yaitu La Panguriseng di Alitta dan La Mappanyukki di Suppa.
Perang Gowa berakhir dengan gugurnya
KaraengE ri Gowa dan putranya yang bernama La Panguriseng Datu Alitta. Oleh
karena itu KaraengE ri Gowa dinamakan Tu Mammenanga ri Bundu’na. Sementara La
Mappanyukki ditawan oleh tentara Belanda dan diasingkan ke Selayar. Itulah
sebabnya La Mappanyukki dinamakan pula sebagai Datu Silaja.
La Mappanyukki diangkat menjadi
Mangkau’ di Bone menggantikan pamannya yaitu sepupu satu kali ayahnya, karena
jelas bahwa dia adalah cucu dari MappajungE. Dia sengngempali dari turunan La
Tenri Tappu MatinroE ri Rompegading. Dengan demikian Hadat Tujuh Bone dianggap
tidak salah pilih dalam menentukan pengganti La Pawawoi Karaeng Sigeri sebagai
Mangkau’ di Bone.
Ibu dari La Mappanyukki bernama We
Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng Arung Alitta anak La
Parenrengi MatinroE ri Ajang Benteng dengan isterinya We Tenriawaru Pancai’tana
Besse Kajuara. Sedangkan ayahnya bernama I Makkulawu Karaeng Lembang Parang
Somba di Gowa Tu Mammenanga ri Bundu’na, anak dari We Pada Arung Berru, anak We
Baego Arung Macege dengan suaminya Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru. We
Baego adalah anak dari La Mappasessu To Appatunru Arumpone MatinroE ri Laleng
Bata.
Pada hari Kemis tanggal 12 April 1931
M. Dan 13 Syawal 1349 H. La Mappanukki dilantik menjadi Mangkau’ di Bone dan
dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultan Ibrahim. Pada waktu itu
Pembesar Kompeni Belanda di Celebes Selatan bernama Tuan L.J.J. Karon serta
Raja Belanda di Nederland pada waktu itu bernama A.C.A de Graff.
Setelah dilantik menjadi Mangkau’ di
Bone La Mappanyukki meminta kepada Pembesar Kompeni Belanda untuk diberikan
kembali rumah (salassa) milik La Pawawoi Karaeng Sigeri yang diambil oleh
Belanda pada saat diasingkannya La Pawawoi ke Bandung. Permintaan tersebut
dipenuhi oleh Pembesar Kompeni Belanda. Rumah itulah yang ditempati Arumpone La
Mappanyukki bersama seluruh anggota Hadat Tujuh Bone sebagai tempat untuk
melaksanakan pemerintahannya.
Pada masa pemerintahan La
Mappanyukki, La Pabbenteng Arung Macege anak dari Baso Pagilingi Abdul Hamid
dengan isterinya We Cenra Arung Cinnong, membunuh sepupu satu kalinya yang
bernama Daeng Patobo saudara dari La Sambaloge Daeng Manabba Sulewatang
Palakka. Oleh karena itu dia dikeluarkan dan diberhentikan sebagai Arung
Macege. Kemudian Arumpone La Mappanyukki memanggil anaknya yang bernama La
Pangerang yang pada waktu itu menjadi Bestuur Assistent atau Lanshap di Gowa
untuk menggantikan La Pabbenteng sebagai Arung Macege.
Anaknya yang bernama La Pangerang
itulah yang sering menggantikan ayahnya kalau bepergian jauh atau pada saat
ayahnya tidak berkesempatan.
Pada masa pemerintahan La
Mappanyukki di Bone, Perang Dunia II pecah dan melibatkan seluruh negara-negara
besar di Eropa. Negeri Belanda diserbu oleh Jerman, Ratu Belanda Wilhelmina
melarikan diri bersama seluruh keluarganya ke Inggeris untuk minta
perlindungan.
La Mappanyukki yang dikenal patuh
dalam melaksanakan syariat Islam, sehingga pada tahun 1941 M. ia mendirikan
Mesjid Raya Watampone. La Mappanyukki mengundang Pembesar Kompeni Belanda yang
bernama Tuan Resident Boslaar untuk meresmikan pemakaian mesjid tersebut.
Pada tanggal 8 Desember 1941 M.
dampak Perang Dunia II juga terjadi di Celebes Selatan dengan datangnya Bangsa
Jepang bersekutu dengan Jerman dan Italia untuk melawan Belanda dan Amerika.
Pada tahun 1942 M. Belanda bertekuk lutut kepada Jepang dan Gubernur Jenderal
Belanda di Jakarta menyerah.
Pada masa pemerintahan Jepang, nama
Mangkau diganti dengan Bahasa Jepang menjadi Sutyoo dan Hadat menjadi Sutyoo
Dairi. Sedangkan Arung Lili disebut Guntyoo dan Kepala Kampung disebut Sontyoo.
Kedudukan Controleur Petoro Belanda diganti dengan Bunken Kanrikan, sedangkan
kedudukan Assistent Resident diganti dengan Ken Kanrikan.
Jepang memerintah selama tiga
setengah tahun yang membuat penderitaan dan kesengsaran bagi penduduk negeri.
Hampir seluruh penduduk mengalami kekurangan makanan dan pakaian. Terjadilah
kelaparan dimana-mana, perampokan juga tidak bisa ditanggulangi.
Karena Jepang merasa semakin
terdesak dan tidak mampu lagi untuk memperkuat perlengkapan perangnya, Jepang
membujuk penduduk pribumi untuk ikut memperkuat tentaranya dengan membentuk
Heiho yang dikenal di Jawa sebagai Pembela Tanah Air (PETA).
Dalam tahun 1944 M. Jepang
menjanjikan kemerdekan kepada Bangsa Indonesia. Datanglah Ir. Soekarno dari
Jawa ke Celebes Selatan ( Ujungpandang) untuk menjelaskan kepada penduduk
tentang maksud dan tujuan kemerdekaan itu. Setelah Ir. Soekarno kembali ke
Jawa, Jepang juga mulai menarik diri dari kegiatan pemerintahan. Diangkatlah La
Pangerang Arung Macege untuk menempati kedudukan Jepang yang disebut Ken
Kanrikan.
Pada awal Kemerdekan Indonesia
banyak orang yang ragu dan sulit untuk menentukan pendirian, dengan alasan
sangat berbahaya dari tekanan Tentara Australia yangt bernama NICA ( Nederloand
Indiche Cipil Administration). Namun bagi Arumpone La Mappanyukki dengan tegas
menyatakan tetap berdiri dibelakang Republik Indonesia yang di peroklamirkan
oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 M.
Adapun anaknya yang bernama La
Pangerang yang pernah menjadi Arung Macege, pada masa pemerintahan Jepang
diangkat sebagai Ken Kanrikan sama dengan Petoro Besar atau Assistent Residen
di zaman Belanda. Pada awal kemerdekaan Republik Indonesia, ditunjuk bersama DR
Ratulangi pergi ke Jakarta sebagai utusan Indonesia bahagian timur dalam
mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia. Tetapi setelah kembali dari Jawa, ia
ditangkap oleh tentara NICA dan diasingkan ke Tanah Toraja bersama ayahnya La
Mappanyukki.
Setelah proklamasi kemerdekan 17
Agustus 1945 dikumandangkan oleh Soekarno dan Hatta,La Pangerang dikembalikan
ke Bone untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone lama yang meliputi
TellumpoccoE, kemudian diangkat menjadi Residen bersama Karaeng Pangkajenne
yang bernama Burhanuddin, ketika Lanto Daeng Pasewang menjadi Gubernur
Sulawesi. Setelah masa jabatan Lanto Daeng Pasewang berakhir, maka Pangerang
yang nama lengkapnya Pangerang Daeng Rani menggantikannya menjadi Gubernur Sulawesi.
La Pangerang Daeng Rani kawin dengan
sepupu satu kalinya yang bernama Petta Lebba, anak La Panguriseng saudara La
Mappanyukki dengan isterinya I Puji. Dari perkawinannya itu, lahirlah ; pertama
bernama Abdullah Petta Nyonri, kedua bernama We Cina atau Mariayama, ketiga
bernama We Ralle, keempat bernama We Tongeng. Kelima bernama I Kennang.
Kemudian La Pangerang Daeng Rani kawin lagi dengan I Suruga Daeng Karaeng, anak
Karaeng Parigi
Sedangkan anak La Mappanyukki yang
bernama Abdullah Bau Massepe, inilah yang menjadi Datu Suppa. Akan tetapi
dimasa perang kemerdekan, dia dibunuh oleh serdadu Belanda yang bernama
Westerling dalam peristiwa Korban 40.000 jiwa di Sulawesi Selatan. Abdullah Bau
Massepe kawin dengan We Soji Petta Kanjenne.
Anak La Mappanyukki dengan isterinya
yang bernama Besse Bulo adalah I Rakiyah Bau Baco Karaeng Balla Tinggi. Inilah
yang menjadi Addatuang Sawitto. Kawin dengan La Makkulawu anak dari We
Mappasessu Datu WaliE, dengan suaminya yang bernama La Mappabeta. Selanjutnya
anak La Mappanyukki dari isterinya yang bernama We Mannenne Karaeng Balangsari,
adalah ; We Tenri Paddanreng. Inilah yang kawin di Luwu dengan La Jemma atau La
Patiware Pajung ri Luwu.
Ketika La Pangerang Daeng Rani
menjadi Gubernur Sulawesi, pemerintah pusat membagi Sulawesi menjadi dua
Provinsi, yaitu Provinsi Sulawesi Selatan dan Provinsi Sulawesi Utara. Kemudian
kewedanan juga dirubah menjadi kabupaten. Oleh karena itu Kabupaten Bone lama
dipecah menjadi tiga kabupaten, yaitu ;
Kabupaten Bone dengan ibu kotanya
Watampone.
Kabupaten Wajo dengan ibu kotanya
Sengkang.
Kabupaten Soppeng dengan ibu kotanya
Watang Soppeng.
Hal yang demikian, merupakan
realisasi dari UU No.4 Tahun 1957 sebagai pembubaran Daerah Bone lama meliputi
Daerah Bone baru, ialah Zelfbestuur atau Swapraja Bone, ialah Kabupaten Bone
baru dengan ibu kotanya Watampone.
Pada waktu itu, La Mappanyukki
dikembalikan ke Bone untuk menjadi Bupati Kepala Daerah Kabupaten Bone. Setelah
sampai masa jabatan dan pensiun, maka kembalilah La Mappanyukki ke Jongaya.
Pada tanggal 18 Februari 1967 M. ia meninggal dunia dan dikebumikan di Taman
Makam Pahlawan Panaikang.
Share