Tiga Tahapan Melamar Gadis Bugis
Posted by AndiEwha
Ketika
seorang pemuda bugis menaruh hati pada seorang gadis bugis, maka disampaikanlah
kepada orang tuanya untuk melamarkan gadis idamannya itu. Orang tua kemudian
mempertimbangkan pilihan sang anak dan memanggil kerabat yang mengenal dengan
baik keluarga gadis tersebut. Jika sang kerabat bersedia, maka sang pemuda dan
kerabat yang ditunjuk akan bertamu ke rumah orang tua si gadis bersama sang
pemuda, membawa oleh - oleh dan menyampaikan keinginan untuk mempertemukan
keluarga. Kunjungan tersebut dalam adat bugis disebut “mappese- pese”
(pendekatan). Jika respon keluarga perempuan baik, maka ditetapkanlah waktu
untuk madduta ( melamar). Cara ini dianggap lebih beradat daripada penyampaian
langsung pemuda ke keluarga perempuan, atau lewat anak gadis tersebut ke orang
tuanya.
Namun
jika sang pemuda berasal dari daerah lain, maka tidak masalah jika sang pemuda
yang langsung menyampaikan niatnya untuk melamar langsung kepada orang tua si
gadis, namun pengambilan keputusan soal diterima tidaknya belum bisa diambil
orang tua meskipun itu adalah calon menantu idaman. Kata terima atau tolak dan
jumlah “uang panai” hanya bisa ditentukan oleh forum kerabat (rumpun keluarga)
pada saat prosesi lamaran nantinya. Meskipun tidak ada salahnya menyampaikan ke
orang tua si gadis kemampuan finansial anda jika memang sudah dekat, atau lewat
si gadis.
Tahap 2 : Massuro atau Madduta (
Melamar)
Setelah
ditetapkan waktu untuk acara “madduta”, keluarga kedua belah pihak sudah mulai
sibuk. Mengundang kekuarga terdekat dan tokoh masyarakat dilingkungannya untuk
mengikuti prosesi tersebut. Keluarga pihak laki-laki menunjuk (pabbicara) juru
bicara disertai rombongan yang cukup dari kerabatnya. Orang tua dari permuda
yang ingin melamar tidak boleh ikut serta dalam acara lamaran ini, demikian
juga dengan pemuda yang ingin dilamarkan, . Jumlah rombongan keluarga laki-laki
tidak terlalu banyak, paling sekitar 10 orang sudah dianggap cukup . Dari pihak
perempuan mengundang kerabat terdekat untuk menghadiri acara lamaran, Juga
ditunjuk juru bicara dari pihak keluarga perempuan.
Acara
ini adalah bagian dari acara adat yang resmi ,rombongan keluarga laki- laki yang
madduta berpakaian lengkap, untuk laki-laki memakai jas, songkok, dengan
bawahan sarung. Sedangkan perempuan memakai kebaya atau pakaian yang sopan
lainnya. Keluarga perempuan menyiapkan jamuan yang sepantasnya bagi tamu yang
hadir.
Dalam
acara ini, dikenal istilah “mamanu’ -manu’ ” (pantun ayam)yang menjadi kiasan
proses lamaran. Dalam proses tersebut, juru bicara pihak laki- laki
mungatarakan maksud kedatangannya. Keluarga perempuan kemudian mengajukan
jumlah ” dui menre”(bugis) atau “uang panai”(makassar) dan sompa (
persembahan). Proses tawar menawar pun dilakukan dengan bahasa yang sopan (
bahasa bugis yang halus). Untuk jaman sekarang besarnya uang panai untuk status
sosial menengah kebawah sebesar (15 - 50 jt). Sedangkan untuk yang memiliki status
sosial tinggi ( bangsawan, orang kaya dan anak gadisnya memiliki pekerjaan yang
mapan bisa mencapai (100-500 jt). Jumlah uang panai juga sangat ditentukan,
pendekatan sang pemuda pada keluarga perempuan, penilaian keluarga perempuan
terhadap pemuda dan kemampuan negosiasi pabbicara. Jumlah uang pesta yang
besarnya tidak pantas ( de na sitinaja), tidak wajar jika dibandingkan dengan
harga rata- rata yang ada dengan staus sosial, pendidikan dan pekerjaan si
gadis maka bisa jadi pertanda penolakan secara halus. Jika pihak keluarga
laki-laki telah menyetujui, maka dibicarakanlah waktu untuk “mappenre dui”(
mengantarkan uang pesta) sekaligus ” mappetu ada”(menentukan hari). Jika pihak
laki - laki tidak menyanggupi “uang pesta” yang diminta, maka bisa meminta waktu,
dan melakukan negosiasi dibelakang layar kemudian mengulangi proses lamaran.
Tahap 3 : Mappenre dui/ Mappetu ada.
Proses
ini sudah dianggap bagian dari pesta, pihak keluarga perempuan sudah mengundang
kerabat dan para tetangga untuk menyaksikan proses mappenre dui tersebut. Pada
acara tersebut semua yang hadir berpakaian formal. Pihak laki- laki juga
menyiapkan rombongan yang besar, sebanyak- banyaknya untuk menunjukkan bahwa
mereka adalah rumpun keluarga yang besar. Diantara rombongan ada gadis -gadis
yang memakai “baju bodo”, dan dengan jas tutup songkok tobone dengan membawa
bosara ” tempat khas bugis” yang berjumlah masing-masing 12 orang. Bosara ini
diisi dengan perlengkapan pengantin perempuan sebagai pengiring uang panai. Isi
bosara biasanya adalah emas, pakaian, sepatu, make up. Selain uang panai yang
sebagian diberikan dalam bentuk cash sebagai simbol. Pada jaman dulu semuanya
dalam bentuk cash dan dihitung oleh saksi yang hadir. Proses mappenre dui
memperlihatkan pada kerabat jumlah uang pesta dan sompa ( persembahan). Sompa
bisa berbentuk tanah, kebun atau emas yang diberikan kepada mempelai wanita (
menjadi hak sepenuhnya wanita, tidak boleh diambil meskipun bercerai). Setelah
proses ini, baru kemudian dibicarakan hari baik untuk melakukan akad nikah atau
pesta. Ada kalanya proses akad nikah dilakukan bersamaan dengan mappenre dui,
kemudian pestanya di tunda jika disepakati sebelumnya, hal ini disebut dengan
“kawin soro”. Namun sekarang prosesi a “mappenre dui ” ini dihilangkan atau
satukan dengan acara akad nikah agar lebih efisien. Jadi iring iringan gadis
pengantar bosara dapat dilihat pada saat hari pernikahan.
Dalam
tradisi bugis, proses yang mendahului sebuah upacara adat perkawinan, sebelum
seorang pasangan pengantin naik ke pelaminan, salah satunya adalah ‘madduta’
seperti yang disebutkan diatas, dan sebelum madduta, ada proses ‘mappesek –
pesek’ mendahuluinya. Mappesek – pesek adalah suatu kegiatan menyelidiki untuk
mengetahui apakah seorang gadis yang telah dipilih itu belum ada yang mengikatnya
dan apakah perangai dan karakternya baik atau terpuji. Biasanya yang melakukan
mappesek – pesek itu adalah seorang wanita dari pihak keluarga laki – laki yang
datang bertamu ke pihak keluarga perempuan. Dalam kegiatan mappesek – pesek ini
wanita yang sebenarnya merupakan utusan khusus ini menyembunyikan maksudnya
bertamu, dia hanya bertanya tentang keluarga pihak perempuan, memperhatikan
cara bicara dan bertutur keluarga perempuan terkhusus kepada anak gadis yang
akan dilamar. Meskipun pada kenyataannya pihak keluarga perempuan pasti bisa
menebak seorang wanita yang datang bertamu ke rumahnya, apalagi dengan banyak
bertanya tentang anak gadisnya.
Madduta
artinya mengirim utusan untuk mengajukan lamaran dari pihak keluarga laki -
laki untuk seorang perempuan. Utusan ini (disebut mallino) bukanlah sembarang
orang yang diutus, tapi seorang yang dianggap bijaksana dan terpercaya bagi
pihak keluarga laki – laki. Utusan ini nantinya berhadapan langsung dengan
orang tua si gadis atau wakil dari orang tua sigadis yang akan dilamar,
sehingga harus menjaga bicaranya dengan sangat hati – hati, jangan sampai salah
menempatkan bicara sehingga lamaran bisa ditolak. Dan atas kepentingan
kedatangan to madduta (utusan yang akan melamar ini), oleh orang tua si gadis
saya dipercayakan sebagai wakil dari pihak keluarga perempuan. Peran saya
sebagai wakil dari To riaddutai (pihak keluarga yang
akan dilamar) sama pentingnya dengan To madduta (pihak keluarga yang
yang datang melamar), sama – sama menentukan kesuksesan sebuah proses menuju
perkawinan.
Permintaan
keluarga itu akhirnya saya sanggupi. “Iye, Insya Allah”, jawab saya. Dua malam
lalu, Rabu (15/6), kedatangan to madduta kami terima di rumah keluarga
tersebut. Rombongan to madduta ada lima orang, semuanya orang tua yang tentu
saja sudah berkeluarga dan sudah banyak makan asam garam pengalaman, sedangkan
kami dari pihak To-riaddutai (pihak keluarga yang dilamar juga lima orang,
orang tua si gadis, dua neneknya dan saya sendiri. Pada tahap ‘madduta’ ini
masih bersifat rahasia, hanya orang tertentu saja yang boleh mengetahuinya. Hal
tentu disebabkan karena perkawinan adalah hal yang sensitif bagi masyarakat
Bugis Makassar, kalau prosesnya gagal bisa berujung siri’ (malu dan terhina,
harga diri tersinggung) pada kedua pihak keluarga. Jadi, peran saya sebagai
jubir (wakil dari pihak keluarga yang dilamar) disini sangat penting, jika
salah bicara, pada kasus tertentu bisa berujung dendam dan dalam kasus ekstrim
bisa berbuntut pembunuhan (saling bunuh).
Setelah
kami bersalam – salaman menerima tamu to madduta, saling duduk dan melempar
senyum, akhirnya juru bicara dari pihak to madduta memulai pembicaraan, “Duami
kuala sappo, Unganna panasae, belo – belo kanukue. Jejaroro bunga rositta, Tepu
tabba toni, Engkana ga sappona”, tanyanya. (Artinya : Dengan hati yang jujur
dan murni, kami datang membawa berita bahagia, menyampaikan niat suci. Bunga
mawar itu nampaknya sudah mekar, apakah sudah ada yang menyimpannya ?).
Mendengar
maksud kedatangan To Madduta yang diungkapkan dengan sangat baik tersebut,
sayapun menjawabnya dengan balik bertanya, “Dekgaga pasa’ riliputta, balanca ri
kappongta, mulinco mabela ?” (Artinya : Apakah tak ada gadis di negeri tuan,
sehingga jauh mencari ?). “Engkana pasak ri liputta, balanca ri kampongta, naekiya
nyawani kusappa”, jawabnya. (Artinya : Ada juga gadis cantik di negeri kami,
tetapi bukan kecantikan yang kami cari, melainkan budi pekerti yang baik).
Lalu
saya kembali bertanya, “Iganaro elo ri bungatta, bunga tammadaunnge, bunga
tamattakkewe”. (Artinya : Siapakah yang akan memetik anak kami, anak yang belum
tahu apa – apa ?). Pertanyaan itu dijawab oleh To Madduta, “Taroni tammadaung,
taroni tammatakkek, belo – belo temmalatek”. (Biarlah tidak tahu apa – apa,
karena perhiasan yang tak kunjung layu, akan kujadikan pelita hidupku).
Proses
pelamaran berjalan dengan baik. Maksud baik To Madduta tersebut untuk menjalin
dan menyatukan dua keluarga akhirnya kami sanggupi dan mengunci maksud
kedatangannya tersebut dengan jawaban, “Ko makkoitu adatta, sorokni tangngakka,
nakutangnga tokki”. (Artinya : Bila tekad tuan demikian, kembalilah tuan,
pelajarilah kami dan kami akan mempelajari tuan). Pembicaraan selanjutnya
setelah maksud To madduta diterima adalah pembicaraan yang ringan – ringan saja
tentang kondisi keluarga masing – masing, pihak keluarga to-riaddutai menerima
antaran sirih pinang dari pihak keluarga to madduta.
Jika
sudah tercapai kesepakatan, boleh dibilang tahapan proses ‘madduta’ sudah
selesai, proses selanjutnya disebut Mappettu Ada, biasanya langsung dilanjutkan
pembicaraan dari Madduta ke proses Mappettu Ada, maksudnya supaya lebih
ringkas, namun lebih banyak yang menyepakatinya di hari lain saja, di waktu
yang berbeda, dengan mengabarkannya kepada seluruh keluarga bahwa proses menuju
perkawinan sudah benar – benar serius dari kedua pihak keluarga. Demikianlah
pengalaman singkat saya sebagai jubir dari pihak keluarga yang dilamar.
Pembicaraan ringkas, tapi memerlukan sedikit pengetahuan budaya untuk
menyanggupinya.