Raja Bone Ke-28 We Tenriawaru Pancaitana
Posted by AndiEwha
We Tenriawaru
Pancaitana Besse Kajuara menggantikan suaminya La Parenrengi menjadi Mangkau’
di Bone. Dalam khutbah Jumat namanya disebut sebagai Sultanah Imalahuddin.
Tenriawaru Pancai’tana Besse Kajuara dengan La Parenrengi Arung Ugi adalah
bersepupu satu kali karena kedua orang tuanya bersaudara kandung dari MatinroE
ri Rompegading. Ayah dari La Parenrengi yang bernama La Mappawewang Arung Lompu
Anre Guru Anakarung ri Bone kawin dengan anak MappalakaE dengan suaminya yang
bernama Muhammad Rasyid Petta CambangE Arung Malolo ri Sidenreng.
La Mappawewang dengan
dengan La Tenri Sukki Arung Kajuara To MalompoE ri Bone. La Tenri Sukki yang
kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Tenri Lippu atau We Maddika
Daeng Matana anak dari We Maddilu Arung Kaju dengan suaminya La Kuneng Arung
Belawa Orai. Dari perkawinannya itu lahirlah We Tenriawaru Pancai’tana Besse
Kajuara.
Pada masa pemerintahan
We Tenriawaru Besse Kajuara, ketegangan antara Bone dengan Kompeni Belanda
kembali terjadi. Hal itu terjadi karena Kompeni Belanda selalu menekankan untuk
memperbaharui kembali Perjanjian Bungaya, agar persahabatan Bone dengan Kompeni
Belanda tetap kokoh. Akan tetapi Arumpone Besse Kajuara tetap bertegas untuk
tidak akan memperbaharui Perjanjian Bungaya, karena ada kemanakannya yang ingin
merebut kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone.
Kemanakannya inilah
yang selalu menghadap kepada Kompeni Belanda agar maksudnya untuk menjadi
Arumpone dapat disetujui. Pada saat MatinroE ri Ajang Benteng meninggal dunia,
kemanakannya itu sudah merasa dirinya berhak untuk ditunjuk oleh Hadat Tujuh
Bone. Kemanakannya itu bernama Singkeru’ Rukka Arung Palakka, anak We Baego
Arung Macege dengan suaminya yang bernama Sumange’ Rukka To Patarai Arung Berru,
cucu dari MatinroE ri Laleng Bata.
Dengan demikian antara
Bone dengan Gubernur Belanda kembali saling menyatakan perang. Arumpone We
Tenriawaru Besse Kajuara didukung oleh pamannya yang bernama La Cibu To LebaE
Ponggawa Bone untuk melawan Belanda. Pada bulan Desember 1859 M. Gubernur
Jenderal Belanda yang bernama Van Switen bersama Pembesar Kompeni Belanda di
Ujungpandang yang bernama Tuan Djensin menyerang Bone. Dibelakangnya terdapat
La Tenri Sukki Arung Palakka yang ikut menyerang.
Arumpone Besse Kajuara
berkedudukan di Pasempe, sementara pasukan Belanda membumi hanguskan Bone.
Karena Arumpone merasa serangan Belanda semakin kuat dan agar tidak terlalu
banyak memakan korban, maka iapun menyatakan kalah. Besse Kajuara meninggalkan
Bone dan pergi ke Ajattappareng. Dalam perjalannya ke Ajattappareng, Besse
Kajuara dengan pengikutnya singgah di Polejiwa dijemput oleh pamannya yang
bernama La Cibu Addatuang Sawitto Ponggawa Bone.
La Cibu Addatuang
Sawitto berpesan kepada kemanakannya Besse Kajuara untuk memilih tempat
diantara tiga wanuwa, yaitu; Suppa, Sawitto atau Alitta. Setelah beristirahat
beberapa hari, Besse Kajuara meninggalkan Polejiwa dan melanjutkan perjalanan
ke Alitta. Disitulah seorang anak Besse Kajuara yang bernama We Cella atau We
Bunga Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng disuruh untuk menetap.
Selanjutnya Besse
Kajuara terus ke Suppa dan disitulah ia tinggal melihat dan memperhatikan
kepentingan orang Suppa, sampai akhirnya meninggal dunia. Karena ia meninggal
di Majennang Suppa, maka dinamakanlah MatinroE ri Majennang Suppa.
Adapun anak yang
dilahirkan dari perkawinannya dengan La Parenrengi MatinroE ri Ajang Benteng,
adalah; pertama bernama Sumange’ Rukka, meninggal ketika berperang saat
mengungsikan ibunya ke Ajattappareng. Kedua bernama We Sekati Arung Ugi,
meninggal sebelum menikah. Ketiga bernama We Bube, inilah yang menjadi Arung
Suppa.
Selanjutnya Besse
Kajuara kawin lagi dengan La Rumpang Datu Pattiro, anak dari La Onro Datu
Lompulle dengan isterinya We Cecu Arung Ganra. Dari perkawinannya itu tidak
mnelahirkan anak dan Datu Suppa meninggal dunia,
Anaknya yang lain
bernama We Cella atau We Bunga Singkeru’ atau We Tenri Paddanreng. Inilah yang
kawin di Gowa dengan La Makkulawu Karaeng Lembang Parang. Anak KaraengE ri Gowa
yang bernama I Mallingkaang Karaeng Katangka, dia juga bernama Pati Matareng Tu
Mammenanga ri Kalabbiranna dengan isterinya yang bernama We Pada Arung Berru
Karaeng Baine ri Gowa.
Setelah I Malingkaang
Karaeng Katangka meninggal dunia, digantikanlah oleh Karaeng Lembang Parang
menjadi Karaeng ri Gowa dan Arung Alitta menjadi Karaeng Baine (permaisuri).
Dengan demikian Alitta dengan Gowa bersatu.
Dari perkawinan Arung
Alitta dengan KaraengE ri Gowa lahirlah dua anak laki-laki, pertama bernama La
Panguriseng Bau Tode Arung Alitta. Kedua bernama La Mappanyukki Datu Suppa. La
Panguriseng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Seno Karaeng
Lakiung anak dari We Batari Arung Berru dengan suaminya yang bernama La Mahmud
Karaeng ri Baroanging.
We Seno dengan La
Panguriseng melahirkan anak ; pertama bernama Saripa Karaeng Pasi, kedua
bernama We Cella Karaeng Lakiung. Kedua bersaudara itu tidak pernah menikah.
La Mappanyukki kawin
dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Maddelu Petta Daeng Bau anak We
Sugiratu Andi Baloto Karaeng Tanete dengan suaminya La Parenrengi Karaeng
Tinggi Mae Datu Suppa. Dari perkawinannya itu tidak melahirkan anak, hingga We
Maddelu meninggal dunia. Kemudian La Mappanyukki kawin lagi di Gowa dengan anak
Gellarang Tombolo, lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama La Pangerang.
Ketika We Tenriawaru
Pancai’tana Besse Kajuara meninggalkan Bone, Pembesar Kompeni Belanda
menggantinya dengan mengangkat anak sepupu satu kalinya yang bernama Singkeru’
Rukka Arung Palakka.