Raja Bone Ke-7 La Tenri Rawe Bongkangnge
Posted by AndiEwha
La Tenri Rawe
BongkangE menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E menjadi Arumpone. La Tenri Rawe
kawin dengan We Tenri Pakiu Arung Timurung MaccimpoE anak dari La Maddussila
dengan isterinya We Tenri Lekke.
La Tenri Rawe dengan
isterinya Arung Timurung melahirkan anak yang bernama ; La Maggalatung, inilah
yang dipersiapkan untuk menjadi putra mahkota menggantikan ayahnya sebagai
Arumpone, dia meninggal dunia semasa kecil. Yang kedua bernama ; La Tenri Sompa
dipersiapkan untuk menjadi Arung Timurung, tetapi juga meninggal karena dibunuh
oleh orang yang bernama Dangkali.
Ketika menjadi
Mangkau’ di Bone, La Tenri Rawe sangat dicintai oleh orang banyak karena
memiliki sifat-sifat seperti ; berbudi pekerti yang baik, jujur, dermawan, adil
dan sangat bijaksana. Dia tidak membedakan antara keluarganya yang memiliki
turunan bangsawan dengan keluarganya dari orang biasa.
Sebagai Arumpone, La
Tenri Rawe yang pertamalah membagi tugas-tugas (makkajennangeng) seperti: yang
bertugas mengurus jowa (pengawal), yang bertugas mengurus anak bangsawan dan
yang mengurus wanuwa.
Pada masa
pemerintahannya pernah dikunjungi oleh KaraengE ri Gowa masuk ke Bone untuk
menyabung ayam. Dalam pertarungan itu, ayam KaraengE ri Gowa terbunuh oleh ayam
Arumpone dengan taruhan seratus kati. Pada masa pemerintahannya pula seluruh
orang Ajangale’ datang menggabungkan diri di Bone. Ditaklukkanlah Awo Teko,
Attassalo dan lain-lain.
TellumpoccoE juga
datang menggabungkan Babanna Gowa di Bone dan diterima kemudian didudukkanlah
sebagai daerah bawahan dari Bone. Hal ini membuat KaraengE ri Gowa marah dan
menyusul masuk ke Bone. Bertemulah orang Gowa dengan orang Bone di sebelah
selatan Mare dan berperang selama tujuh hari tujuh malam, baru berdamai. Jelaslah
kekuasaan orang Bone pada bahagian selatan Sungai Tangka ke atas.
Datu Soppeng Rilau
yang diturunkan dari tahtanya datang ke Bone untuk minta perlindungan. Karena
Datu Soppeng Rilau yang bernama La Makkarodda To Tenri Bali MabbeluwaE merasa
terdesak. Tidak lama setelah berada di Bone, ia pun kawin dengan saudara
Arumpone yang bernama We Tenri Pakkuwa. Dari perkawinannya itu lahir anak
perempuan , We Dangke atau We Basi LebaE ri Mario Riwawo.
Saudara Arumpone yang
bernama We Lempe kawin dengan sepupu dua kalinya yang bernama La Saliwu Arung
Palakka. Dari perkawinannya itu melahirkan anak ; La Tenri Ruwa MatinroE ri
Bantaeng kawin dengan sepupu satu kalinya yang bernama We Dangke. La Tenri Ruwa
adalah nenek MatinroE ri Bontoala.
Suatu saat, Bone didatangi
oleh Gowa dan terjadilah perang di Cellu. Perang berlangsung selama lima hari
lima malam dan orang Gowa mundur. Dua tahun kemudian datang KaraengE ri Gowa
untuk menyerang lagi. Kali ini perang berlangsung selama tujuh hari tujuh
malam. Orang Gowa mengambil tempat pertahanan di Walenna, tetapi KaraengE ri
Gowa tiba-tiba terserang penyakit, maka ia harus kembali ke kampungnya. Konon,
ketika sampai di Gowa ia pun meninggal dunia.
Hanya kurang lebih dua
bulan kemudian, datang lagi KaraengE ri Gowa yang bernama Daeng Parukka yang
menggantikan ayahnya untuk kembali menyerang Bone. Mendengar bahwa Gowa
kembali, maka seluruh orang Ajangale’ dan orang Timurung datang membantu Bone.
Adapun Limampanuwa Rilau Ale’ berkedudukan di Cinennung.
Sementara orang Awampone
berkedudukan di Pappolo berdekatan dengan benteng pertahanan KaraengE ri Gowa.
Terjadilah perang yang sangat dahsyat. Orang Gowa menyerbu ke arah selatan,
membakar Kampung Bukaka dan Takke Ujung. Akhirnya Karaeng Gowa tewas terbunuh.
Daeng Padulung salah
seorang pembesar Gowa yang menjadi pemimpin perang nampaknya sudah kewalahan
menghadapi serangan orang Bone. Oleh karena itu Karaeng Tallo memerintahkan
utusannya untuk menemui Arumpone. Adapun yang disampaikan oleh utusan Karaeng
Tallo adalah ; ”Kami telah kehilangan dua Karaeng (pemimpin) yaitu satu tewas
di tempat tidur dan satu lagi tewas di lapangan. Tetapi sekarang kami
menghendaki kebaikan”.
Berkata Kajao
Laliddong ; ”Kalau begitu pendapatmu, besok pagi saya akan menemui KaraengE”.
Keesokan harinya keluarlah Kajao Laliddong selaku penasehat Arumpone untuk
menemui KaraengE ri Tallo. Dalam pertemuannya itu, terjadilah kesepakatan
mengangkat Daeng Patobo menjadi Karaeng ri Gowa.
Ketika menjadi
Arumpone La Tenri Rawe BongkangE pernah bertentangan dengan Datu Luwu yang
bernama Sagariya karena orang Luwu naik lagi ke Cenrana. Maka wanuwa Cenrana
telah dua kali direbut dengan kekuatan senjata (riala bessi) oleh orang Bone.
Untuk memperkuat
kedudukan Bone sebagai suatu kerajaan yang tangguh, La Tenri Rawe menjalin
hubungan kerja sama dengan Arung Matowa Wajo yang bernama To Uddamang. Begitu
juga dengan Datu Soppeng yang bernama PollipuE. Maka diadakanlah pertemuan di
Cenrana untuk memperkuat hubungan antara Bone, Soppeng dan Wajo.
Adapun kesepakatan
yang diambil di Cenrana adalah ketiganya akan mengadakan pertemuan lanjutan di
Timurung. Setelah sampai pada waktu yang telah ditentukan, maka berkumpullah
orang Bone, orang Soppeng dan orang Wajo di suatu tempat yang bernama Bunne.
Ketiganya mengucapkan ikrar ; ”Tessiabiccukeng – Tessiacinnai ulaweng tasa –
Pattola malampe waramparang maega” (tidak saling memandang rendah – tidak
saling iri hati – saling mengakui kepemilikan). Setelah itu barulah ketiganya
mallamumpatu (meneggelamkan batu) sebagai tanda kuatnya perjanjian tersebut,
sehingga disebutlah – LamumpatuE ri Timurung.
Inilah catatan yang
menjelaskan TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) yang terkandung dalam
perjanjian yang diadakan oleh La Tenri Rawe BongkangE (Bone), To Uddamang
(Wajo) dan La Mata Esso (Soppeng).
Ketika sampai pada
hari yang telah disepakati, bertemulah di Timurung. Datanglah Arumpone, diikuti
oleh seluruh Palili Bone. Datang juga Arung Matowa Wajo yang bernama La
Mungkace To Uddamang MatinroE ri Kanana. Selanjutnya datang juga Datu Soppeng
yang bernama La Mappaleppe PatolaE Arung Belo MatinroE ri Tanana. Diikuti pula
oleh seluruh Palili Soppeng dan Wajo.
Pertemuan tiga
kerajaan yang lebih dikenal dengan nama Pertemuan TellumpoccoE tersebut
diadakan di Timurung di suatu kampung kecil yang bernama Bunne. Dalam pertemuan
tersebut Arung Matowa Wajo bertanya kepada Arumpone ; ”Bagaimana mungkin
Arumpone, untuk kita hubungkan tanah kita bertiga, sementara Wajo adalah
kekuasaan Gowa. Kemudian kita tahu bahwa antara Bone dengan Gowa juga memiliki
hubungan yang kuat”.
Arumpone menjawab ;
”Itu pertanyaan yang bagus Arung Matowa. Tetapi yang menjalin hubungan disini
adalah Bone, Soppeng dan Wajo. Selanjutnya Bone menjalin hubungan dengan Gowa.
Kalau Gowa masih mau menguasai Wajo, maka kita bertiga melawannya”. Pernyataan
Arumpone tersebut diiyakan oleh Arung Matowa Wajo.
Berkata pula PollipuE
ri Soppeng ; ”Bagus sekali pendapatmu Arumpone, tanah kita bertiga bersaudara.
Tetapi saya minta agar tanah Soppeng adalah pusaka tanah Bone dan Wajo. Sebab
yang namanya bersaudara, berarti sejajar”. Arumpone menjawab ; ”Bagaimana
pendapatmu Arung Matowa, sebab menurutku apa yang dikatakan oleh PollipuE
adalah benar”. Arung Matowa Wajo menjawab ; ”Saya kira tanah kita bertiga akan
rusak apabila ada yang namanya – sipoana’ (ada yang menganggap dirinya tua dan
ada yang muda). Berkata lagi Arumpone ; ”Saya setuju dengan itu, tetapi tidak
apalah saya berikan kepada Soppeng Gowagowa dan sekitarnya untuk penambah daki,
agar tanah kita bertiga tetap bersaudara”.
Berkata pula Arung
Matowa Wajo ; ”Bagus pendapatmu Arumpone, saya juga akan memberikan Soppeng
penambah daki yaitu Baringeng, Lompulle dan sekitarnya”. Datu Soppeng dan Tau
TongengE berkata ; ”Terima kasih atas maksud baikmu itu, karena tanah kita
bertiga telah bersaudara, tidak saling menjerumuskan kepada hal yang tidak
dikehendaki, kita bekerja sama dalam hal yang kita sama kehendaki”.
Berkata Arumpone dan
Arung Matowa Wajo ; ”Kita bertiga telah sepakat, maka baiklah kita bertiga
meneggelamkan batu, disaksikan oleh Dewata SeuwaE, siapa yang mengingkari
perjanjiannya dialah yang ditindis oleh batu itu”.
Berkatalah Arung
MatowaE ri Wajo kepada Kajao Laliddong sebagai orang pintarnya Bone ;
”Janganlah dulu menanam itu batu, Kajao! Sebab saya masih ada yang akan
kukatakan bahwa persaudaraan TellumpoccoE tidak akan saling menjatuhkan, tidak
saling berupaya kepada hal-hal yang buruk, janganlah kita mengingkari
perjanjian, siapa yang tidak mau diingatkan, dialah yang kita serang bersama
(diduai), dia yang kita tundukkan”.
Pernyataan Arung
MatowaE tersebut disetujui oleh Arumpone dan Datu Soppeng. Setelah itu
ketiganya berikrar untuk ; ”Malilu sipakainge – rebba sipatokkong – sipedapiri
ri peri’ nyameng – tellu tessibaicukkeng – tessi acinnai ulaweng tasa – pattola
malampe waramparang maega – iya teya ripakainge iya riadduai” (yang khilaf
diingatkan – yang rebah ditopang – saling menyampaikan kesulitan dan kesenangan
– tiga tidak ada yang dikecilkan – tidak saling merebut kekayaan – saling mengakui
hak kepemilikan).
Inilah isi perjanjian
TellumpoccoE yang ditindis batu di Timurung, disaksikan oleh Dewata SeuwaE.
Ikrar kesetiaan ini dipegang erat-erat oleh ketiganya.
Dua tahun setelah
perjanjian TellumpoccoE, La Tenri Rawe BongkangE memanggil saudaranya yang
bernama La Inca. Kepada La Inca, La Tenri Rawe menyampaikan bahwa setelah
sampai ajalnya, maka saudaranyalah La Inca yang diserahkan kedudukan sebagai
Mangkau’ di Bone karena dirinya tidak memiliki anak pattola (putra mahkota).
Karena pada saat
meninggal, jenazahnya dibakar dan abunya dimasukkan ke dalam guci, maka
digelarlah La Tenri Rawe BongkangE MatinroE ri Gucinna.